Rabu, 26 Mei 2010

Wajah Plagiator


WAJAH PLAGIATOR SEMBUNYI DI KETIAK INTERTEKSTUAL
Oleh Firman Venayaksa*)

Membaca tulisan Widzar (PR, 18/02/06) tentang diskusi bedah buku puisi Yunis Kartika dan gugatan terhadap Soni Farid Maulana yang ditanggapi dengan hebat oleh yang bersangkutan (PR, 25/02/06), mengingatkan saya terhadap perseteruan antara Raja dangdut Rhoma Irama dan Inul Daratista. Bagaimana tidak? Soni FM adalah seorang penyair yang sudah tak lagi diragukan keberadaannya dalam kancah kesusastraan Indonesia: buku-buku puisinya sudah menyebar ke mana-mana, pernah menjadi redaktur Khazanah PR bertahun-tahun lamanya, alumni Festival de Winternachten pula. Sementara Widzar adalah seorang penyair yang baru goyang kata dari milis ke milis, komunitas ke komunitas, ke beberapa koran dan majalah. Namun seperti halnya Inul, Widzar memiliki daya tarik tersendiri. Ia adalah anak muda dengan konsistensi yang tinggi terhadap dunia sastra yang digelutinya. Ketika ada kegiatan tentang sastra, maka ia berani hadir kendati tempatnya jauh. Saya dan Gola Gong cukup gembira ketika Widzar dan Gank Mnemonic mau datang pada pertemuan sastrawan se-kampung nusantara (Ode Kampung) yang diselenggarakan oleh Rumah Dunia. Begitu pula Soni. Ia sempat datang ke Rumah Dunia, membagikan ilmunya tentang proses kreatif dalam menulis puisi, memberikan motivasi kepada para penulis muda Banten.
Dua penyair ini sudah saya kenal dekat sejak lama. Jadi ketika mereka ”berkelahi” di Khazanah, saya membaca tulisan mereka dengan hati-hati, berusaha mendalami pemikiran mereka yang berjurang itu. Berkat mereka, akhirnya saya termotivasi untuk membaca puisi Yunis Kartika.
Seperti yang diungkapkan oleh Soni, bahwa menilai sebuah puisi berarti mencoba untuk menafsirkan makna. Tetapi tidak mungkin kita akan berkeinginan mencari makna di balik teks tersebut jika bulu kuduk kita tidak berdiri (mengutip dari tulisan Widzar yang dikutip berdasarkan pernyataan Acep Zamzam Noor di Rumah Dunia). Dengan demikian, sebetulnya tidak ada yang salah antara pemikiran yang dikemukakan Widzar maupun Soni. Justru beriringan. Proses yang diungkapkan oleh Widzar disebut sebagai apresiasi, sementara yang diungkapkan oleh Soni disebut sebagai kajian. Proses kajian adalah proses selanjutnya setelah mengapresiasi.
Setelah membaca puisi Yunis yang diterbitkan buku pop, tentu saja saya punya penilaian tersendiri, karena sifat menilai dalam sebuah karya—jika kita mengaitkan dengan teori resepsi sastra—maka pasti terdapat perbedaan dalam memaknai teks, karena hal tersebut disesuaikan dengan cakrawala harapan dari masing-masing pembaca. Seyogyanya kita mesti mahfum jika Widzar lebih menyukai puisi yang berlapis (metaforis) dalam menentukan kualitas, kendati hal tersebut tidak bisa dipukul rata dalam menilai puisi-puisi lainnya. Namun, Soni FM pun jangan dulu menyimpulkan terlalu dini tentang puisi-puisi Yunis yang masih mentah dan bergetah, apa lagi ketika disandingkan dengan para penyair wanita lainnya yang telah eksis lebih dulu.
mengapa tak kau tambatkan/ perahumu pada satu dermaga?/ padahal kau lihat/ bukan hanya satu pelabuhan/ yang mau kau sandar/
kalau dulu/ pernah ada pelabuhan kecil yang harus/ di lupakan/ mengapa tak kau lakukan/
Setelah membaca puisi Yunis di atas, saya diingatkan kembali terhadap proses kreatif saya dalam membuat musikalisasi puisi. Dulu, saya sempat ingin memusikalisasikan sebuah puisi “Pelabuhan” karya Tias Tatanka yang sampai saat ini belum juga selesai. Puisi ini diakui oleh Tias sebagai puisi cinta yang didedikasikan untuk Gola Gong, yang kini menjadi suaminya. Puisi tersebut dimuat dalam novel “Balada Si Roy” pada tahun 1989, dan dibukukan dalam antologi “Bebegig” (LiST, 1998: 34) bersama enam penyair Serang lainnya.
Pelabuhan
Kenapa tak pernah kau tambatkan/ perahumu di satu dermaga?/ Padahal kulihat, bukan hanya satu / pelabuhan tenang yang mau menerima / kehadiran kapalmu!/
Kalau dulu memang pernah ada/ satu pelabuhan kecil, yang kemudian / harus kau lupakan/ mengapa tak kau cari pelabuhan lain/ yang akan memberikan rasa damai yang lebih/
Seandainya kau mau,/ buka tirai sanubarimu, dan kau akan tahu,/ pelabuhan mana yang ingin kau singgahi untuk selamanya,/ hingga pelabuhan itu jadi rumahmu,/ rumah dan pelabuhan hatimu./
Solo, 1989
Jika kita melihat sekilas, dalam penggunaan kata, puisi Yunis lebih ringkas dan padat. Namun jika kita membaca secara keseluruhan, maka hampir seluruh diksi dan imaji yang dibangun dalam puisi Yunis, terdapat dalam puisi Tias. Agar kita tidak langsung menghakimi bahwa ada unsur plagiarisme di sini, lebih baik kita mencoba untuk memakai perbandingan teks dengan pendekatan yang relatif mudah dan sering dilakukan oleh para akademis sastra yaitu pendekatan semiotik yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Barthes menggunakan konsep connotation-nya Hjemslev untuk membongkar makna-makna yang tersembunyi. Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yaitu denotatif dan konotatif. Pada tingkat denotatif, tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna primer yang “alamiah”. Namun pada tingkat konotatif, di tahap skunder, muncullah makna yang ideologis (dalam Dahana, 2001: 23). Selanjutnya Barthes mengungkapkan bahwa petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah dan melaluinya, dunia lingkungan menyerbu sistem itu (dalam Kurniawan, 2001: 68).
Pada tingkat denotatif, kita melihat sebuah judul yang hampir sama yiatu “Dermaga” dan “Pelabuhan”. Pada tahap ini kita melihat bahwa dua kata tersebut lebih mentitikberatkan dalam menunjukkan sebuah tempat untuk perahu/ kapal yang hendak berlabuh. Tetapi dua kata ini bukan sebuah sinonim. Dermaga adalah tembok rendah yang memanjang di tepi pantai menjorok ke laut di kawasan pelabuhan (lihat KBBI, 2003: 256), sementara pelabuhan adalah tempat berlabuh (ibid, hal. 622). Jika kita teliti membaca teks tersebut, maka kita bisa menyimpulkan bahwa bisa jadi terdapat pelbagai dermaga dalam satu pelabuhan dan tidak mungkin terdapat pelbagai pelabuhan dalam satu dermaga, karena dermaga adalah salah satu bagian yang berada di pelabuhan. Seperti halnya rumah, maka dermaga hanya salah satu ruangan dari sebuah konstruksi bangunan bernama rumah. Jika kita mengaitkan dengan puisi Yunis maupun Tias, dermaga dalam konteks tersebut seperti diidentikan dengan pelabuhan. Yunis dan Tias sama-sama tidak konsisten dalam menunjukkan sebuah tempat, karena jika dalam pemahaman mereka antara dermaga dan pelabuhan adalah identik, maka seharusnya mereka memilih salah satu kata saja. Kesalahan pemahaman tersebut menjadi sangat fatal ketika mengaitkan dengan judul puisi Yunis. Ia lebih memilih judul Dermaga. Jika kita berasumsi bahwa dalam sebuah pelabuhan terdapat pelbagai dermaga, maka kerisauan sang Aku menjadi tidak logis, karena sang Engkau bisa jadi masih berada di satu pelabuhan walau berpindah dari satu dermaga ke dermaga lainnya. Sementara itu, ketidakkonsistenan dalam puisi Tias semakin bertambah ketika ia “bingung” antara memilih diksi “perahu” dan “kapal”.
Kenapa tak pernah kau tambatkan/ perahumu di satu dermaga?/ Padahal kulihat, bukan hanya satu/ pelabuhan tenang yang mau menerima/ kehadiran kapalmu!
Puisi Yunis dan Tias, sama-sama membincangkan tentang sang Aku yang mempertanyakan kepada sang Engkau mengapa tidak juga melabuhkan perahu/ kapal di satu dermaga (tempat)? Perbedaan antara kedua puisi ini terlihat ketika lahirnya “saran” kepada orang yang memiliki perahu/ kapal tersebut. Dalam puisi Tias, sang Aku mengakui bahwa sang Engkau memiliki kemampuan untuk berlabuh dari dermaga satu ke dermaga lainnya. Namun sang Aku memberikan solusi untuk mencari dermaga/ pelabuhan lain yang lebih damai, sehingga sang Engkau bisa menjadikan tempat tersebut sebagai kediamannya yang terakhir (lihat bait ketiga). Sementara di dalam puisi Yunis, Sang Engkau dalam persepsi sang Aku adalah seseorang yang sangat berkehendak untuk terus bersandar dari dermaga satu ke dermaga lainnya. Berbeda dengan puisi Tias yang lebih terkesan memberikan “pilihan”, di dalam puisi Yunis, ada kesan untuk mengharuskan (penekanan) terhadap sang Aku untuk melupakan pelabuhan kecil yang dulu sempat di datangi sang Engkau walaupun dikemas dalam bentuk pertanyaan.
kalau dulu/ pernah ada pelabuhan kecil yang harus/ di lupakan/ mengapa tak kau lakukan
Selanjutnya pada tahap konotatif, kita bisa memaknai bahwa kata dermaga/ pelabuhan adalah sebuah wilayah kesadaran untuk menyandarkan rasa (dalam konteks ini adalah cinta—mencintai). Sementara perahu/ kapal adalah sarana dalam memindahkan hasrat agar bisa berpetualang mencicipi dermaga hati yang tersebar. Puisi ini menyiratkan tentang pertanyaan dari sang Aku kepada sang Engkau yang begitu mudahnya menyandarkan rasa cintanya, begitu mudah pula ia mencari “dermaga” lain. Pada tahap ini, antara puisi Yunis dan puisi Tias tidak memperlihatkan sebuah perbedaan yang terlalu mencolok. Sebetulnya puisi dengan tema klasik seperti ini sudah sering kita dengar. Seorang lelaki yang berpetualang mencari tambatan hati, sementara di pihak lain, ada seorang wanita yang dengan kukuh menunggu cinta sang lelaki agar hinggap dalam dermaganya. Secara intertekstual, posisi lelaki semacam ini bisa kita dapatkan dalam lagu group Band Samsons, “Naluri Lelaki”, yang sekarang sedang digandrungi oleh anak-anak muda.
aku adalah lelaki/ yang tak pernah lelah mencari wanita/ ... aku adalah lelaki/ yang pantang menyerah memikat wanita/
Jika kita kembali melihat dua puisi tersebut, seperti yang saya tuliskan di atas, nampaknya hanya terlihat perubahan-perubahan kecil saja, seperti diksi yang dikotak-katik, membuang diksi yang tidak perlu dan melakukan editing terhadap partikel maupun kata untuk mendapatkan makna baru. Tapi bagi para pembaca yang kritis, nampaknya sulit untuk dikelabuhi. Bagi saya, Puisi “Dermaga” yang diklaim sebagai puisi Yunis Kartika, merupakan proses ubahan dari puisi “Pelabuhan” milik Tias Tatanka. Proses seperti ini mengingatkan saya terhadap salah satu cara menulis bagi pemula yang dipaparkan oleh seorang dosen UI, Ismail Marahimin, yaitu copy the master. Cara seperti ini memang sangat efektif untuk mengetahui kelebihan sekaligus kekurangan dari puisi yang ada. Tapi ada celah yang tak bisa dipungkiri, kita akan terjebak dalam epigon berkepanjangan!
Intertekstual dan Plagiarisme
Teeuw mengungkapkan bahwa tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain (2003: 120). Oleh karena itu dalam menciptakan sebuah teks, proses saling mempengaruhi menjadi sebuah kelaziman.
Sapardi Djoko Damono pernah membuat sebuah cerpen untuk meng-counter pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam novel “Arok Dedes”. Jika di dalam novel Pram, ia lebih menitikberatkan tentang tema perlawanan orang tertindas terhadap penguasa, di dalam cerpen SDD, cerita Arok Dedes ternyata tak lebih dari permasalahan paha dan betis Dedes yang menggairahkan sehingga Arok tergila-gila dibuatnya, mau melakukan apapun agar mendapatkan Dedes. Saut Situmorang pernah juga menggubah puisi “Bunga Gugur” karya Rendra dengan gaya humoris. Jauh hari sebelumnya, karya Cervantes yang terkenal, “Don Quixote” dipandang sebagai parodi atas jenis roman picaresque, yang mewakili kemapanan sastra kanon pada zamannya. Contoh-contoh tersebut, dalam bahasa Teeuw adalah upaya dari mereka untuk menisbikan ataupun meniadakan norma sastra, konteks atau horison harapan pembaca dengan mempermainkan ataupun menertawakan karya sastra berwibawa mewakili norma-norma yang ada.
Intertekstualisasi yang dilakukan oleh penulis merupakan hal yang sangat biasa dalam dunia sastra. Sebagai seorang penulis, kita harus paham betul bahwa ada semacam arketif dalam penulisan puisi yaitu ketaksadaran terpendam yang akan hadir pada suatu waktu. Hal ini bisa terjadi kepada siapa saja jika terdapat impuls yang sama ketika menulis puisi. Impuls ini akan terjadi misalnya jika membaca buku yang sama, sehingga ada kemungkinan intertekstual bermain di otak kita (monogenesis), atau kita mengetahui suatu sejarah yang satu kausalitas, sehingga ada pertautan antarkeduanya (polygenesis). Kegiatan seperti ini akan menjadi luar biasa ketika sang penulis benar-benar mencaplok karya orang lain secara sadar dan mengklaimnya sebagai hasil dari proses kreatifnya. Dalam hal ini saya ingin menegaskan bahwa kasus intertekstual dan plagiarisme adalah dua kasus yang tidak bisa disamakan, walaupun wajah para plagiator sering berlindung dalam jepitan ketiak interteks.
Kasus plagiat memang bukan peristiwa yang baru. Sebagai contoh, pada tahun 2002, Dadan S. Sanusi (puisi “Hujan Asam Suatu Ketika”) dituduh memplagiat puisi Linda Kieven oleh Rita W dengan judul “Hujan Asam”yang terdapat dalam antologi “The Flower Night”. Debat kusir dan perkelahian intelektual di cybersastra.net dan bumimanusia.or.id menghadirkan pula bermacam pembaca, dan salah satunya adalah Soni FM dan anggota Arena Studi dan Apresiasi Sastra (ASAS) UPI; Cerpen Alex R yang berjudul “Nurani Seorang Tentara” memiliki kesamaan dengan cerpen “Penembak Gelap” karya Liam O’ Flaherty; Cerpen “Olan” karya Donny Anggoro yang dibukukan oleh Dewan Kesenian Jakarta, dalam rangka menghimpun para sastrawan kota Jakarta dan sekitarnya (Bentang Budaya, 2003 hlm. 64—73) memiliki kesamaan dengan cerpen "Sialan" karya Putu Setia (Pustaka Manikgeni, 1994, hlm. 77—85); Y. Thendra BP menuliskan press release di cybersastra.net (12/03/03) karena ia berang ketika puisinya dibukukan dalam antologi Dian Sastro For President tetapi bukan atas namanya (puisi tersebut diklaim oleh Indriyani Hastuti).
Contoh-contoh kasus di atas hanya sebagian kecil dari kasus lain yang tak sedikit jumlahnya. Plagiarisme menjadi alang-alang yang tumbuh di taman sastra. Keberadaannya tidak diperlukan, namun ia selalu saja hadir dan berkembang. Kehadiran tersebut dikarenakan tidak adanya aturan baku dan buramnya batasan-batasan tentang plagiarisme dalam wilayah sastra, sehingga dari sekian banyak kasus yang ada, penyelesaiannya kerap tidak tuntas. Biasanya, undang-undang yang diberlakukan selama ini adalah norma moralitas tentang kejujuran atau ketidakjujuran yang menurut saya sangat merugikan para pengarang yang sudah bersusah payah menciptakan gagasan seni dan intelektualnya. Bahkan dalam KUHP kita tidak mengenal tentang plagiat atau penjiplakan suatu karya orang lain. Kemungkinan besar jika ada kasus demikian, maka kita bergantung pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang ada yaitu undang-undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Silaturahmi pemikiran antara Widzar dan Soni FM, bagi saya adalah persoalan yang tidak terlalu mengkhawatirkan, karena mereka berargumen dengan landasan yang kuat, walaupun kedua-duanya melontarkan pernyataan dan bantahan tentang kebohongan publik. Justru yang ingin saya tanyakan, berdasarkan fakta yang saya uraikan, jangan-jangan penyair yang kalian bicarakan yang justru melakukan kebohongan publik?

tentang saya

Foto Saya
Langga Gustanto
The man who wrote a hobby
Lihat profil lengkapku

Followers


ShoutMix chat widget