Kamis, 27 Mei 2010

MEMBACA KEMATIAN DALAM SASTRA


MEMBACA KEMATIAN DALAM SASTRA
Karya: Sudarmoko


TAK dapat dimungkiri bahwa kematian menjadi bagian yang sangat intim dalam karya sastra. Baik itu dalam pengungkapan tema, sebagai kenyataan dalam cerita, peristiwa, maupun pandangan tokoh terhadapnya. Demikianlah, maka segala genre sastra banyak berbicara tentangnya. Lebih nyata lagi, pada media lain, misalnya dalam film-film kartun untuk anak-anak, adegan kematian dan ’kehancuran’ itu disajikan dengan sangat gamblang dan seakan-akan menjadi sangat lucu. Dan dalam kehidupan masyarakat budaya kita pun terdapat banyak ritual yang berkaitan dengan kematian.
Ia menjadi bagian yang sering kali tak lagi diperhatikan karena ia sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Media massa setiap hari mengabarkan kematian. Entah dengan cara bagaimana dan sebab apa, nyatanya kematian menjadi sebuah kabar yang tak lagi membuat kita berduka atau berkabung.
Entah dengan cara bagaimana dan sebab apa, nyatanya kematian menjadi sebuah kabar yang tak lagi membuat kita berduka atau berkabung. Ya, sebab kita begitu kebal karenanya. Dalam sastra, hal ini menarik untuk dilihat bagaimana pengarang memperlakukan kematian yang dihadapi tokoh-tokohnya, atau ia menjadi tema, atau ketika kematian tersaji sebagai menu tambahan saja. Eka Kurniawan, misalnya, dalam Cantik Itu Luka (AKY Press dan Jendela, 2002) menggambarkan kematian sebagai sebuah kelumrahan. Pada paragraf-paragraf pertama pun dia sudah memberikan gambaran yang menyuramkan tentang kematian, tentang kebangkitan, tentang kelahiran, yang menciptakan sebuah sublimitas peristiwa sekaligus. Kemudian, di sana-sini ia menghadirkan lagi kematian itu, dalam perang, karena cinta tak sampai, duel preman, penyakit dan kelaparan, atau hanya karena usia yang telah sampai di ujung.
Sebuah gambaran yang tereksplorasi dengan baik dan luar biasa untuk menunjukkan sebuah teror atas dan dari kematian yang dipaksakan, protes atas pengambilalihan hak mencabut nyawa dari malaikat elmaut. Tak dapat dibayangkan bagaimana sibuknya malaikat ketika itu, gambaran ini tak terdapat dalam novel tersebut, seperti juga ketika kematian massal terjadi karena sebab dan di tempat lain. Sementara Kurnia Effendi lebih lembut lagi dalam melihat kematian dalam cerpen-cerpennya. Dalam antologi Senapan Cinta (Gagas Media, 2004), beberapa cerpen menjadikan kematian sebagai tema utama. Dan yang menarik, tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen Kurnia memiliki pandangan yang positif terhadap kematian.
Alangkah indahnya perjalanan dan berbagai metafor yang digunakan Kurnia dalam menceritakannya. Saya pikir ini sebuah cerpen yang sangat berhasil dalam antologi ini, dan salah satu capaian yang bernilai dari Kurnia. Atau juga ketika seseorang menemani ayahnya yang menunggu ajal, bercerita, merokok, seperti sebuah jamuan bagi seorang tamu agung yang bakal datang, namun si tuan rumah harus mengumpulkan dan menunggu kelengkapan anggota keluarganya (dalam "Menemani Ayah Merokok").
Terutama dalam hal bagaimana pandangan dan sikap kita terhadap orang yang sudah meninggal. Demikianlah, kematian dihadapi dengan berbagai cara, berbagai rasa. AA Navis dalam cerpennya "Dokter dan Maut" (dalam antologi Bertanya Kerbau pada Pedati, Gramedia Pustaka Utama, 2002) membuat sebuah gambaran lain yang menyenangkan ketika sang Dokter dikunjungi seorang bekas pasiennya yang ternyata adalah malaikat maut. Mungkin terinspirasi oleh novel A Chrismast Carol karya Charles Dickens, sebuah novel yang sangat populer dan banyak difilmkan dalam berbagai versi dan adaptasi, jalan ceritanya seperti sebuah persahabatan antara seorang manusia dan malaikat maut.
Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari fenomena kematian dalam karya sastra, dan belum dapat dikatakan dapat mewakili keseluruhan fenomena yang terjadi. Namun paling tidak, hal itu dapat menunjukkan bahwa tema ini mendapatkan perhatian dari pengarang seperti ditunjukkan dalam sejumlah karya. Namun, meski tema kematian ini juga menjadi tema dalam filsafat yang tak pernah habis dibahas, hal ini, dan tulisan ini, tidak berpretensi untuk sampai pada bahasan tentang penyebutan atau kategorisasi karya sastra filsafat.
Dan alasan alami seperti ketuaan merupakan sebuah alasan yang juga jamak ditemukan. UPACARA-upacara kematian masih dapat ditemukan dalam masyarakat kita. Selain menjadi tuntutan adat, upacara itu juga dilakukan dengan alasan lain semisal agama, institusional (seperti militer yang memiliki cara tersendiri dalam menghormati prajurit yang gugur), maupun negara (saya teringat tabur bunga atau penghormatan pada pahlawan dalam sejumlah upacara). Cukup banyak alasan untuk melakukannya, meski upacara itu, seperti disebut di atas, sering tak berpengaruh dalam mengganggu rutinitas hidup yang memang sudah cukup sibuk. Akan tetapi, bagaimana dengan tema ini dalam sejarah kelam kejahatan manusia atas manusia lain yang berujung pada hilangnya nyawa orang lain? Tentu saja tumpukan ingatan akan hal itu lari pada karya-karya yang berlatar belakang, atau dihasilkan, dari sebuah cuplikan periode kelam berbagai peristiwa kejam; keganasan perang dan pembantaian di berbagai belahan dunia.
Di bagian lain Coffman mempertanyakan adakah puisi lahir dari kekejaman dan hilangnya nyawa banyak orang, seperti Perang Dunia I dan II, dan bagaimana puisi bisa lahir dari sebuah kedahsyatan kesengsaraan dan kekejian yang dilakukan manusia. Sebuah pertanyaan yang rasanya sangat ironis, namun terbukti bahwa sastra kadang bertugas mencatat berbagai peristiwa, bahkan yang paling keji dan busuk sekali pun. Coffman memang mengkhawatirkan adanya akibat dari tema ini dalam kehidupan manusia. Sebagaimana juga bahwa karya sastra dibaca oleh orang-orang yang masih hidup, dan karena itu akan memiliki efek bagi kehidupannya. Bukan berarti bahwa kekejaman dan kematian akan begitu saja dimaknai oleh pembaca dan memiliki pengaruhnya dalam kehidupan. Pembaca memang diharapkan akan memperoleh makna dan manfaat dari bacaannya. Dan dengan begitu, karya sastra akan memiliki arti dan fungsinya yang penting. Namun, kekejaman seperti itu tak harus mengambil contoh pada kebrutalan masif. Ia bisa saja hadir dalam kekejaman atas individu yang dilakukan baik secara personal maupun institusional.

tentang saya

Foto Saya
Langga Gustanto
The man who wrote a hobby
Lihat profil lengkapku

Followers


ShoutMix chat widget