Daftar artikel
-
▼
2010
(29)
-
▼
Mei
(29)
- PUISI KAHLIL GIBRAN
- Unsur Unsur SastraBerbagi dan hanya sekedar sharri...
- KEADAILAN TUHAN BUAT HIDUPKU
- KESUKSESAN YANG TERKUCILKAN
- DUNIA MEMBERI APA YANG KITA FOKUSKAN
- MEMBACA KEMATIAN DALAM SASTRA
- KALAM CINTA TUHAN
- Wajah Plagiator
- SEJARAH CERITA PENDEK
- filsafat Dan Sastra
- SURAT UNTUK SAHABAT-KUSahabat adalah Mahluk terind...
- Unsur-unsur dalam Karya Sastra
- Sastra Anak Sebagai Wahana Pengenalan dan Pengasuh...
- Diary Sang Penikmat Malam
- Novel Karya Kahlil Gibran " SATAN"
- NOVEL
- Apa Itu Sastra
- SEJARAH KAHLIL GIBRAN
- karya Rendra
- NYANYIAN SUKMA
- TIPS MENJADI SEORANG PENULIS PEMULA
- puisi tentang cinta
- MEMAHAMI KARYA SASTRA
- DINAMIKA SASTRA CYBER
- Paradoks tentang Cinta
- sharing stories between life and death
- Memetik bintang dihatiku
- SASTRA
- CIVILIZATION OF SPACE AND TIME IMPRISONED BY LANGG...
-
▼
Mei
(29)
Rabu, 19 Mei 2010
DINAMIKA SASTRA CYBER
DINAMIKA SASTRA CYBER
Kehadirannya disambut dengan antusiasme oleh masyarakat. Salah satu
bentuknya adalah dengan kehadiran bermacam-macam komunitas yang
dipertemukan oleh minat terhadap sastra. Selain situs cybersastra,
milis penyair, bumi manusia, dan bunga matahari, salah satu komunitas
yang eksis hingga saat ini adalah Apresiasi- Sastra (biasa disebut
Apsas). Di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Sabtu (31/1), milis
Apsas menggelar perayaan ulang tahun yang keempat. Para anggota
komunitas ini berkumpul dan menggelar aktivitas yang berhubungan
dengan sastra, seperti diskusi sastra, pembacaan puisi, hingga
pertunjukan teater. Pesertanya beragam, bila kita melihatnya dari sisi profesi maupun
ideologi mereka. Kendati usianya bervariasi, namun, menurut salah satu
moderator Apsas, Sonny Debono kepada SH (5/2), yang paling berperan
justru generasi yang "tua". Selain itu, yang terlibat di milis ini
adalah orang-orang yang dikenal "serius" di kepenulisan sastra.
"Motivasi paling dominan justru di kalangan sastrawan "senior".
Kebanyakan saling mengapresiasi antaranggota, baik terhadap buku baru,
artikel di koran, maupun memberi masukan dan kritik sastra," paparnya.
Selain dapat bertemu di acara tahunan milis ini, launching buku, dan
aktivitas sastra lainnya, komunikasi antarmoderator dapat dilakukan
secara darurat. Dia mencontohkan, ketika ada kunjungan dari moderator,
seperti Sigit Susanto yang tinggal di Swiss, para moderator akan
mengadakan pertemuan sporadis. "Jadi tetap ada aktivitas darat,
bersama rekan-rekan anggota Apsas. Mereka juga dapat bertemu di darat
karena kegiatan komunitas, baik dari milis maupun komunitas lainnya,"
papar Soni.
Terhadap media cetak, menurutnya milis Apsas bersifat terbuka, baik
terhadap situs atau milis lain, bahkan terhadap media sastra di koran
sehingga kalaupun ada member yang dimuat di koran, biasanya akan
dikabarkan di Apsas, kemudian diapresiasi.
"Saya kira tidak ada pembedaan yang terlalu signifikan antara sastra
di media cetak dan internet di kalangan moderator. Kalaupun ada
wacana, ya, berupa pengakuan ataupun pemberontakan, itu akan
ditanggapi sebagai wacana dan sikap kritis. Namun bagi kami, tetap ada
ruang untuk perbedaan," paparnya.
Lebih Ekspresif
Dalam diskusi itu, Sabtu, masalah kebebasan berekspresi juga menjadi
topik yang hangat dipersoalkan. "Sastra cyber memang memberikan ruang
berekspresi yang lebih leluasa bila dibandingkan dengan panggung
sastra yang lainnya," kata Nurudin Asyhadie, salah seorang pembicara.
Dia membandingkan sastra cyber dengan kesempatan yang diberikan untuk
berapresiasi di media yang lainnya, seperti dengan koran, majalah,
atau buku antologi. Di media-media tersebut, masih banyak
batasan-batasan yang mesti dilewati agar karya seseorang bisa
ditampilkan dan dapat dibaca oleh orang lain.
Di sisi lain, kemudahan untuk berekspresi di internet ini ternyata
mengundang kritikan pula. Dalam catatan penyair dan eseis Saut
Situmorang, seorang kritikus sastra dan dosen sastra Maman S Mahayana
pernah menyebut para penyair cyber Indonesia belum pantas untuk
dikategorikan sebagai "penyair", tetapi "penulis puisi". Perbedaan
istilah ini hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka.
Polemik lain juga pernah muncul terhadap produk dari komunitas sastra
cyber Indonesia, yaitu ketika Yayasan Multimedia Satra (YMS)
menerbitkan antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang
bernama CYBERpuitika. Kritik datang dari dua orang yang dianggap
sebagai otoritas seni Indonesia, yaitu Sapto Raharjo dan Faruk
HT—keduanya dari Jogjakarta.
Kedua orang ini mengatakannya sebagai cermin makin kuatnya pengaruh
budaya konsumerisme dan absennya orisinalitas kreatif karena hanya
meramu elemen-elemen yang sudah ada. Saut balik menuding polemik
tersebut sebagai sederetan "pseudo" belaka, baik itu pseudopolemik,
pseudokritik, pseudokritikus, dan pseudosastrawan- senior.
"Tidak adanya pengetahuan tentang sastra cyber, tidak adanya
pengetahuan tentang hakikat "teks" tulisan dalam dunia internet yang
disebut "hyper-text" dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui
jaringan "hyper-link" , dan tidak adanya pengetahuan tentang seni
kolase yang menggabung-gabungka n berbagai bentuk seni menjadi satu
seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyber
Indonesia untuk introspeksi, " katanya.
(sihar ramses simatupang)
Copyright © Sinar Harapan 2008
Kehadirannya disambut dengan antusiasme oleh masyarakat. Salah satu
bentuknya adalah dengan kehadiran bermacam-macam komunitas yang
dipertemukan oleh minat terhadap sastra. Selain situs cybersastra,
milis penyair, bumi manusia, dan bunga matahari, salah satu komunitas
yang eksis hingga saat ini adalah Apresiasi- Sastra (biasa disebut
Apsas). Di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Sabtu (31/1), milis
Apsas menggelar perayaan ulang tahun yang keempat. Para anggota
komunitas ini berkumpul dan menggelar aktivitas yang berhubungan
dengan sastra, seperti diskusi sastra, pembacaan puisi, hingga
pertunjukan teater. Pesertanya beragam, bila kita melihatnya dari sisi profesi maupun
ideologi mereka. Kendati usianya bervariasi, namun, menurut salah satu
moderator Apsas, Sonny Debono kepada SH (5/2), yang paling berperan
justru generasi yang "tua". Selain itu, yang terlibat di milis ini
adalah orang-orang yang dikenal "serius" di kepenulisan sastra.
"Motivasi paling dominan justru di kalangan sastrawan "senior".
Kebanyakan saling mengapresiasi antaranggota, baik terhadap buku baru,
artikel di koran, maupun memberi masukan dan kritik sastra," paparnya.
Selain dapat bertemu di acara tahunan milis ini, launching buku, dan
aktivitas sastra lainnya, komunikasi antarmoderator dapat dilakukan
secara darurat. Dia mencontohkan, ketika ada kunjungan dari moderator,
seperti Sigit Susanto yang tinggal di Swiss, para moderator akan
mengadakan pertemuan sporadis. "Jadi tetap ada aktivitas darat,
bersama rekan-rekan anggota Apsas. Mereka juga dapat bertemu di darat
karena kegiatan komunitas, baik dari milis maupun komunitas lainnya,"
papar Soni.
Terhadap media cetak, menurutnya milis Apsas bersifat terbuka, baik
terhadap situs atau milis lain, bahkan terhadap media sastra di koran
sehingga kalaupun ada member yang dimuat di koran, biasanya akan
dikabarkan di Apsas, kemudian diapresiasi.
"Saya kira tidak ada pembedaan yang terlalu signifikan antara sastra
di media cetak dan internet di kalangan moderator. Kalaupun ada
wacana, ya, berupa pengakuan ataupun pemberontakan, itu akan
ditanggapi sebagai wacana dan sikap kritis. Namun bagi kami, tetap ada
ruang untuk perbedaan," paparnya.
Lebih Ekspresif
Dalam diskusi itu, Sabtu, masalah kebebasan berekspresi juga menjadi
topik yang hangat dipersoalkan. "Sastra cyber memang memberikan ruang
berekspresi yang lebih leluasa bila dibandingkan dengan panggung
sastra yang lainnya," kata Nurudin Asyhadie, salah seorang pembicara.
Dia membandingkan sastra cyber dengan kesempatan yang diberikan untuk
berapresiasi di media yang lainnya, seperti dengan koran, majalah,
atau buku antologi. Di media-media tersebut, masih banyak
batasan-batasan yang mesti dilewati agar karya seseorang bisa
ditampilkan dan dapat dibaca oleh orang lain.
Di sisi lain, kemudahan untuk berekspresi di internet ini ternyata
mengundang kritikan pula. Dalam catatan penyair dan eseis Saut
Situmorang, seorang kritikus sastra dan dosen sastra Maman S Mahayana
pernah menyebut para penyair cyber Indonesia belum pantas untuk
dikategorikan sebagai "penyair", tetapi "penulis puisi". Perbedaan
istilah ini hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka.
Polemik lain juga pernah muncul terhadap produk dari komunitas sastra
cyber Indonesia, yaitu ketika Yayasan Multimedia Satra (YMS)
menerbitkan antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang
bernama CYBERpuitika. Kritik datang dari dua orang yang dianggap
sebagai otoritas seni Indonesia, yaitu Sapto Raharjo dan Faruk
HT—keduanya dari Jogjakarta.
Kedua orang ini mengatakannya sebagai cermin makin kuatnya pengaruh
budaya konsumerisme dan absennya orisinalitas kreatif karena hanya
meramu elemen-elemen yang sudah ada. Saut balik menuding polemik
tersebut sebagai sederetan "pseudo" belaka, baik itu pseudopolemik,
pseudokritik, pseudokritikus, dan pseudosastrawan- senior.
"Tidak adanya pengetahuan tentang sastra cyber, tidak adanya
pengetahuan tentang hakikat "teks" tulisan dalam dunia internet yang
disebut "hyper-text" dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui
jaringan "hyper-link" , dan tidak adanya pengetahuan tentang seni
kolase yang menggabung-gabungka n berbagai bentuk seni menjadi satu
seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyber
Indonesia untuk introspeksi, " katanya.
(sihar ramses simatupang)
Copyright © Sinar Harapan 2008