Sabtu, 29 Mei 2010

PUISI KAHLIL GIBRAN


Prahara meneduh setelah membungkuk kan dahan dahan pepohonan, dan setelah sarat membenani batang batang gandum diladang hingga nyaris terkulai rebah mencium tanah. Bintang gemintang tampak bagaikan sisa pecahan kilatan petir yang terhambur. Namun kini kesunyian meliputi segalanya, seolah peperangan alam tidak pernah berkecamuk mengusiknya.

Pada saat itu wanita muda memasuki kamarnya dan berlutut disamping tempat tidur sambil terisak sedih.. Hatinya teriris pilu oleh kesedihan tetapi akhirnya dapat membuka bibirnya untuk berkata : “Ya Tuhan, tuntunlah dia pulang kepadaku dengan selamat ”, Aku telah kehabisan air mata Tuhanku yang pengasih dan penyayang. Kesabaranku sudah punah dan kehancuran sedang meruyak hatiku. Lindungi dia.

Diam diam masuklah seorang pria muda, kepalanya terbungkus pembalut yang basah oleh tetesan kehidupan yang tergelincir.

Dia menghampiri wanita itu dengan sapaan air mata bercampur tawa. Kemudian mengambil tangannya dan menempelkannya pada bibirnya yang membara. Dan dengan suara yang menggetarkan derita laranya yang terlalui dan kegirangan bertemu kembali, dia berkata ; “janganlah takut kepadaku, sebab aku ini adalah buah permohonan. Gembiralah, sebab perdamaian telah membawaku kembali dengan selamat kepadamu. Dan peri kemanusiaan telah memulihkan apa yang dirampas oleh keserakahan dari kita. Jangan bersedih kekasihku. Senyumlah, jangan menampak kan kebingungan sebab cinta memiliki kekuatan yang menyingkirkan kematian; Pesona suci tidak menunduk kan musuh. Aku milikmu, jangan pandang aku sebagai bayangan yang muncul dari Alam kematian yang mengunjungi Keindahan.

Lalu pria muda itu tak kuasa lagi berkata kata, sementra air matanya menjuru bahasakan isi hatinya, kemudian para bidadari kebahagiaan beterbangan diatas langit itu, dan kedua hati berpaut kembali dalam kesatuan yang selama ini terenggut.

Di fajar pagi, keduanya berdiri ditengah padang hijau, menekuri kecantikan Alam yang terluka oleh badai taufan. Setelah keheningan yang dalam dan menenangkan. Prajurit itu memandang kearah timur, dan berbisik kepada kekasih hatinya; “ Tengoklah kegelapan itu, yang sedang melahirkan sang Matahari”.
Baca Terusannya »»  
Kamis, 27 Mei 2010
Unsur Unsur Sastra


Berbagi dan hanya sekedar sharring ilmu. kali ini kita akan membahas apa saja unsur unsur dalam Sastra. yuk kita belajar dan tahu, apa saja Unsur dalam Karya sastra,salah satu nya adalah Unsur Ekstrinstik dan Intrinstik. bagi rekan rekan yang mau belajar, saya sediakan gratis materinya. silahkan download dibawah ini :
Baca Terusannya »»  

KEADAILAN TUHAN BUAT HIDUPKU

Keadilan Tuhan Buat Hidupku
Pengarang Meslay Nus



Aku bersyukur buat Tuhan, bahwa ketika aku dilahirkan.

Tuhanku berkehendak untuk ketika itu, saat yang sama dimana aku terlahir, ketika itu pula ibuku meninggalkanku untuk selamanya.
sehingga boleh dikatakan waktu atau tanggal saat aku dilahirkan adalah waktu atau tanggal yang sama juga saat Ibu harus pergi menghadap Tuhan untuk selamanya.
Ibu, walau kini kita tak bersama sejak pertama ibu menghadirkan aku, aku tidak pernah kehilangan kasih… aku tetap memiliki kelembutan dari dalam hati dan diri ini… karena aku dilahirkan oleh ibu… yang memiliki KASIH YANG ABADI dalam diri Ibu.. Sebuah Anugrah Abadi dari Tuhan.

Ibu.. Aku rindu dan kangen sama Ibu… walau sejak awal… tidak pernah aku melihat bayanganmu apalagi wajahmu. Kalaul boleh aku meminta, jangankan wajah, walau hanya sebatas bayanganmu aku ingin melihatmu ada, walau hanya sedetik ada dan berdiri di depanku.

Ada kerinduan amat sangat selama ini untuk merasakan kasih sayangnya.

belaian tangan lembutnya… sama seperti aku melihat orang lain begitu hangat,nyaman.. damai bahagia dalam pelukan ibu tercinta. bahkan aku melihat saat dewasa pun mereka begitu akrab, di saat yang lain wujud keakraban itu dapat kulihat ketika sang ibu menyuapi anaknya yang sudah dewasa, terbayang betapa bahagianya, terlukis sebuah rasa bahagia yang sulit untuk diungkapkan.

Namun.. kuasa Tuhanku.. Anugrah Tuhanku… memang tidak akan pernah bisa dibayangkan… tidak dapat terpikirkan… keadilan yang luar biasa Tuhanku nyatakan dalam kehidupanku… Aku memiliki keluarga / orang tua, ibu yang begitu sayang… begitu luar biasa perhatiannya buat aku… sungguh sebuah wujud kasih yang tidak akan pernah mampu terbalaskan walau dengan apapun…. Yang luar biasanya aku sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan atau pun hubungan darah / keluarga dengan mereka…

Ketika aku pergi, atau bahkan pulang kerja… atau kemana pun aku pergi… lalu kembali pulang…… Saat aku membuka pintu selalu sudah tersedia makanan minuman di meja t4 tinggalku… For this, i always remember …
Bahkan tempat dimana aku tinggal dan selanjutnya menjalani hidup dan atkifitasku itu pun disiapkan dan diberikan sementara untuk aku tempati…. TUHANKU…ENGKAU TAHU… BAHWA AKU SELALU BERDOA MEMOHON PADAMU SAYANGILAH KELUARGA INI… Aku sadar bahwa aku tidak akan pernah mampu membalas kasih dan perhatian yang begitu luar biasa besarnya dalam kehidupanku ini.

Hanya yang mampu aku berikan adalah DOAku dan yang mampu kuucapkan adalah dan Ungkapan Terima kasih yang sebesar-besarnya…

Inilah wujud keadilan Tuhan bagi Hidupku… Aku yakin hal ini pasti terjadi juga bagi sesama yang lain. Oleh karena itu bagi yang masih memiliki ibu… jangan tunggu lagi… sayangi dan bahagiakanlah ibu… Namun.. kini bagi yang tidak bersama lagi dengan ibu.. yakinlah bahwa kasih dan kelembutan hatinya akan terus dan tetap menjadi bagian dalam kehidupan anaknya. Amin.

Baca Terusannya »»  

KESUKSESAN YANG TERKUCILKAN


Kehidupan manusia dikelilingi oleh dinamika kehidupan yang beraneka ragam bentuknya. Hidup manusia senantiasa diselimuti oleh bermacam-macam pengaruh, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Pengaruh positif berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan “petunjuk”. Sedangkan pengaruh negatif berhubungan erat dengan “godaan”. Kedua jenis pengaruh ini tidak hanya menghinggapi satu atau dua orang tetapi ke semua orang.

Dalam sebuah hadis Nabi dikatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Bunyi hadis tersebut nampaknya logis yaitu tatkala hidup seseorang berada dalam level miskin atau serba kekurangan maka ketahanan jiwanya akan rapuh dalam menghadapi cobaan hidup. Disini dibutuhkan sebuah prinsip yang kuat dengan menggigitkan gigi-gigi gerahamnya pada norma-norma agama. Dengan demikian maka prinsip tersebut akan mampu menangkis segala bentuk godaan.
ingin tahu kisah selanjutnya silahkan download dibawah ini:
Baca Terusannya »»  

DUNIA MEMBERI APA YANG KITA FOKUSKAN


Dunia Memberi Apa Yang Kita Fokuskan
pengarang : Adhie

bila anda memandang diri anda kecil, dunia akan tampak sempit, dan tindakan anda pun jadi kerdil

Namun bila anda memandang diri anda besar, dunia terlihat luas, anda pun melakukan hal-hal penting dan berharga

Tindakan anda adalah cermin bagaimana anda melihat dunia. Sementara dunia anda tak lebih luas dari pikiran anda tentang diri anda sendiri. Itulah mengapa kita diajarkan untuk berprasangka positif pada diri sendiri, agar kita bisa melihat dunia lebih indah, dan bertindak selaras dengan kebaikan-kebaikan yang ada dalam pikiaran kita.

Padahal dunia tidak butuh penilaian apa-apa dari kita. Ia menggemakan apa yang ingin kita dengar. Bila kita takut menghadapi dunia, sesungguhnya kita takut menghadapi diri kita sendiri

Maka bukan soal apakah kita berprasangka positif atau negatif terhadap diri sendiri. Melampaui di atas itu, kita perlu jujur melihat diri sendiri apa adanya. dan dunia pun menampakkan realitanya yang selama ini tersembunyi di balik penilaian-penilaian kita.
Baca Terusannya »»  

MEMBACA KEMATIAN DALAM SASTRA


MEMBACA KEMATIAN DALAM SASTRA
Karya: Sudarmoko


TAK dapat dimungkiri bahwa kematian menjadi bagian yang sangat intim dalam karya sastra. Baik itu dalam pengungkapan tema, sebagai kenyataan dalam cerita, peristiwa, maupun pandangan tokoh terhadapnya. Demikianlah, maka segala genre sastra banyak berbicara tentangnya. Lebih nyata lagi, pada media lain, misalnya dalam film-film kartun untuk anak-anak, adegan kematian dan ’kehancuran’ itu disajikan dengan sangat gamblang dan seakan-akan menjadi sangat lucu. Dan dalam kehidupan masyarakat budaya kita pun terdapat banyak ritual yang berkaitan dengan kematian.
Ia menjadi bagian yang sering kali tak lagi diperhatikan karena ia sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Media massa setiap hari mengabarkan kematian. Entah dengan cara bagaimana dan sebab apa, nyatanya kematian menjadi sebuah kabar yang tak lagi membuat kita berduka atau berkabung.
Entah dengan cara bagaimana dan sebab apa, nyatanya kematian menjadi sebuah kabar yang tak lagi membuat kita berduka atau berkabung. Ya, sebab kita begitu kebal karenanya. Dalam sastra, hal ini menarik untuk dilihat bagaimana pengarang memperlakukan kematian yang dihadapi tokoh-tokohnya, atau ia menjadi tema, atau ketika kematian tersaji sebagai menu tambahan saja. Eka Kurniawan, misalnya, dalam Cantik Itu Luka (AKY Press dan Jendela, 2002) menggambarkan kematian sebagai sebuah kelumrahan. Pada paragraf-paragraf pertama pun dia sudah memberikan gambaran yang menyuramkan tentang kematian, tentang kebangkitan, tentang kelahiran, yang menciptakan sebuah sublimitas peristiwa sekaligus. Kemudian, di sana-sini ia menghadirkan lagi kematian itu, dalam perang, karena cinta tak sampai, duel preman, penyakit dan kelaparan, atau hanya karena usia yang telah sampai di ujung.
Sebuah gambaran yang tereksplorasi dengan baik dan luar biasa untuk menunjukkan sebuah teror atas dan dari kematian yang dipaksakan, protes atas pengambilalihan hak mencabut nyawa dari malaikat elmaut. Tak dapat dibayangkan bagaimana sibuknya malaikat ketika itu, gambaran ini tak terdapat dalam novel tersebut, seperti juga ketika kematian massal terjadi karena sebab dan di tempat lain. Sementara Kurnia Effendi lebih lembut lagi dalam melihat kematian dalam cerpen-cerpennya. Dalam antologi Senapan Cinta (Gagas Media, 2004), beberapa cerpen menjadikan kematian sebagai tema utama. Dan yang menarik, tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen Kurnia memiliki pandangan yang positif terhadap kematian.
Alangkah indahnya perjalanan dan berbagai metafor yang digunakan Kurnia dalam menceritakannya. Saya pikir ini sebuah cerpen yang sangat berhasil dalam antologi ini, dan salah satu capaian yang bernilai dari Kurnia. Atau juga ketika seseorang menemani ayahnya yang menunggu ajal, bercerita, merokok, seperti sebuah jamuan bagi seorang tamu agung yang bakal datang, namun si tuan rumah harus mengumpulkan dan menunggu kelengkapan anggota keluarganya (dalam "Menemani Ayah Merokok").
Terutama dalam hal bagaimana pandangan dan sikap kita terhadap orang yang sudah meninggal. Demikianlah, kematian dihadapi dengan berbagai cara, berbagai rasa. AA Navis dalam cerpennya "Dokter dan Maut" (dalam antologi Bertanya Kerbau pada Pedati, Gramedia Pustaka Utama, 2002) membuat sebuah gambaran lain yang menyenangkan ketika sang Dokter dikunjungi seorang bekas pasiennya yang ternyata adalah malaikat maut. Mungkin terinspirasi oleh novel A Chrismast Carol karya Charles Dickens, sebuah novel yang sangat populer dan banyak difilmkan dalam berbagai versi dan adaptasi, jalan ceritanya seperti sebuah persahabatan antara seorang manusia dan malaikat maut.
Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari fenomena kematian dalam karya sastra, dan belum dapat dikatakan dapat mewakili keseluruhan fenomena yang terjadi. Namun paling tidak, hal itu dapat menunjukkan bahwa tema ini mendapatkan perhatian dari pengarang seperti ditunjukkan dalam sejumlah karya. Namun, meski tema kematian ini juga menjadi tema dalam filsafat yang tak pernah habis dibahas, hal ini, dan tulisan ini, tidak berpretensi untuk sampai pada bahasan tentang penyebutan atau kategorisasi karya sastra filsafat.
Dan alasan alami seperti ketuaan merupakan sebuah alasan yang juga jamak ditemukan. UPACARA-upacara kematian masih dapat ditemukan dalam masyarakat kita. Selain menjadi tuntutan adat, upacara itu juga dilakukan dengan alasan lain semisal agama, institusional (seperti militer yang memiliki cara tersendiri dalam menghormati prajurit yang gugur), maupun negara (saya teringat tabur bunga atau penghormatan pada pahlawan dalam sejumlah upacara). Cukup banyak alasan untuk melakukannya, meski upacara itu, seperti disebut di atas, sering tak berpengaruh dalam mengganggu rutinitas hidup yang memang sudah cukup sibuk. Akan tetapi, bagaimana dengan tema ini dalam sejarah kelam kejahatan manusia atas manusia lain yang berujung pada hilangnya nyawa orang lain? Tentu saja tumpukan ingatan akan hal itu lari pada karya-karya yang berlatar belakang, atau dihasilkan, dari sebuah cuplikan periode kelam berbagai peristiwa kejam; keganasan perang dan pembantaian di berbagai belahan dunia.
Di bagian lain Coffman mempertanyakan adakah puisi lahir dari kekejaman dan hilangnya nyawa banyak orang, seperti Perang Dunia I dan II, dan bagaimana puisi bisa lahir dari sebuah kedahsyatan kesengsaraan dan kekejian yang dilakukan manusia. Sebuah pertanyaan yang rasanya sangat ironis, namun terbukti bahwa sastra kadang bertugas mencatat berbagai peristiwa, bahkan yang paling keji dan busuk sekali pun. Coffman memang mengkhawatirkan adanya akibat dari tema ini dalam kehidupan manusia. Sebagaimana juga bahwa karya sastra dibaca oleh orang-orang yang masih hidup, dan karena itu akan memiliki efek bagi kehidupannya. Bukan berarti bahwa kekejaman dan kematian akan begitu saja dimaknai oleh pembaca dan memiliki pengaruhnya dalam kehidupan. Pembaca memang diharapkan akan memperoleh makna dan manfaat dari bacaannya. Dan dengan begitu, karya sastra akan memiliki arti dan fungsinya yang penting. Namun, kekejaman seperti itu tak harus mengambil contoh pada kebrutalan masif. Ia bisa saja hadir dalam kekejaman atas individu yang dilakukan baik secara personal maupun institusional.

Baca Terusannya »»  

KALAM CINTA TUHAN



Judul: Kalam Cinta dari Tuhan


Penulis: Ali Sobirin
el Muannatsy





Kebebasan yang didapat remaja masa kini, memiliki

dua sisi pemaknaan berbeda. Di satu sisi kebebasan itu dapat tumbuh dan
berkembang ke arah yang baik. Di sisi lain apa yang dinamakan kebebasan itu
sedikit demi sedikit merenggut kehadiran norma-norma sosial dan nilai-nilai
moral dari kehidupan remaja.

Norma-norma dan nilai-nilai itu seolah dilupakan
dan dapat begitu saja dilanggar. Kebebasan yang keblabasan begitu menjadi menarik untuk didapatkan dan
dipraktektan, dan seterusnya menyeret generasi muda ke labirin kesenangan
semu.

Ali Sobirin agaknya melihat fenomena ini sebagai
sebuah gejala yang harus segera dapat ditangani atau paling tidak dapat
disikapi dengan benar. Melalui karya fiksinya-Kalam Cinta dari Tuhan- aktivis yang lebih sering dipanggil Mas
Also ini mencoba menggugah pembaca untuk lebih jauh lagi menelaah gejala sosial
ini. Di dalam novel empat ratusan halaman ini, Mas Also mengatakan bahwa arti
kebebasan sebenarnya akan didapatkan ketika ada tanggungjawab moral yang
menyertai kebebasan itu, tak dapat tidak!

Adalah Joni Kesiangan, seorang mahasiswa di salah
satu perguruan tinggi Islam di Jakarta, yang menjadi pengayuh cerita novel ini.
Joni yang lulusan pondok pesantren, harus merasakan kerasnya hidup di Jakarta.
Hidup yang keras tidak hanya dalam artian susahnya hidup karena minimnya
pekerjaan, tetapi juga godaan-godaan yang ada di dalamnya. Jakarta sebagai kota
metropolitan tentu menawarkan beranekaragam kesenangan dan godaan bagi yang
menempatinya, termasuk pelajar seperti Joni.

Joni atau Alim Murthadany ini, adalah seorang
figur yang disenangi kawan-kawannya. Seorang figur yang dapat dikatakan menjadi
panutan bagi teman-temannya. Cerdas, bijak, penuh keterbukaan, dan menghargai teman
dan apa yang diperolehnya, serta agak ambisius. Dengan sifat-sifat seperti
inilah, ia selalu dikelilingi dan disenangi oleh orang di sekitarnya, termasuk
teman-teman perempuannya. Bahkan seorang tante-tante pun sempat tertarik
padanya, dan sempat hendak menjerumuskannya, meski demikian, karena ketulusan
dan keikhlasan dalam menjalin hubungan, Joni tetap dalam penjagaan Tuhan.

Yang begitu menarik dari novel ini adalah selain
dikemas dengan bahasa yang enak, isinya pun sarat akan pesan moral yang dalam,
terutama tentang konsep permisifisme dan al-hayya. Permisifisme yang kata
lainnya adalah kebebasan yang keblabasan,
merupakan satu kondisi di mana batasan-batasan yang diciptakan nilai-nilai dan
norma-norma tak lagi berlaku. Baik-buruk tak ada bedanya, semuanya baik asalkan
sesuai hasrat atau keinginan (hal.341). Di sini, melalui tokoh Joni, Mas Also
mengatakan bahwa budaya permisifisme ini terjadi karena kurangnya pengawasan
dan perhatian terhadap generasi muda. Peran orang tua tak lagi jelas di era, di
mana mereka memerankan diri hanya dalam tataran pemenuhan kebutuhan materi bagi
anak-anak mereka, padahal ada kebutuhan lain—batin—yang seharusnya menjadi
fokus dalam “keluarga”. Peran orang tua harusnya mendidik anak-anaknya agar
dapat bermoral dan bermartabat, dengan menjadi figur yang baik bagi
anak-anaknya tentunya. Materi penting, tapi kasih sayang dan perhatian untuk
memenuhi kebutuhan batin anak lebih penting.

Di tingkat lanjut setelah keluarga, anak-anak muda
sulit sekali menemukan figur-figur baik yang siap menjadi panutan. Figur-figur
yang selama ini ada, lebih banyak menampilkan sisi negatif dari pada
positifnya. Seharunya ada simbiosis yang baik dalam ranah yang lebih luas ini,
di mana orang tua berperan untuk menjadi figur yang baik dan lingkungan
membantu memberi makna kehidupan pada si anak dari sisi yang lain. Jadi antara
keluarga dan masyarakat ada semacam hubungan simbiosis mutualisme dalam
membentuk karakter anak.Selain figur, dari sejak dini, harusnya anak-anak
sudah diajarkan apa itu namanya budaya malu (al-hayya). Budaya ini akan
membentuk watak dan perilaku anak untuk malu ketika melakukan sesuatu yang
tidak baik atau benar. Bukankah saat ini bangsa ini sulit sekali menemukan
orang-orang yang malu ketika berbuat tidak benar, kasus korupsi misalnya.
Maraknya praktek korupsi di negeri ini, adalah indikator yang menunjukkan bahwa
negeri ini tak lagi memiliki budaya malu. Yang ada adalah budaya muka tembok yang tanpa malu caplok sana,
caplok sini, tak peduli jika ada saudaranya dilanda kemiskinan, diambang
kehancuran.

Secara garis besar novel ini, enak dan asyik serta
baik dibaca oleh siapapun, termasuk para pelajar yang memang menjadi fokus di
mana pesan-pesan itu ingin disampaikan. Mas Also cukup berhasil meramu novel
ini dengan begitu apik, dari sekedar cerita cinta diolah menjadi karya sastra
penuh nilai dan pesan-pesan penuh makna. Selain itu, novel ini juga memiliki
kedetailan pendiskripsian yang tinggi, bahkan terlihat begitu akurat, tentu hal
ini akan membuat pembaca terbawa ke dalam ikatan emosional yang lebih pada
setiap alur cerita dalam novel ini. pendiskripsian yang hampir sempurna inilah
yang menjadikan nilai lebih dari novel ini.

Mungkin hanya pada penarikan pola hubungan antar
tokoh yang mengalami sedikit “kekerasan” dalam penuturannya. Pola hubungan yang
nampak begitu dipaksakan itu jelas terlihat pada pola hubungan keluarga Pak
Sana (Ayah Joni) dan Pak Dhany (ayah Tari, pasangan Joni). Banyak sekali
kebetulan yang ada dalam hubungan dua keluarga ini. Pak Sana dan Pak Dhany
kebetulan teman lama waktu masa-masa nyantri, dan anak-anak mereka (Joni dan
Tari) kebetulan menjadi sepasang kekasih. Ini mengakibatkan hilangnya sedikit
rasa gereget yang seharusnya dapat
dimunculkan di sini. Padahal rasa itu bisa muncul misalnya bila hubungan Joni
dan Tari agak dipersulit, anggap orang tua mereka tidak saling kenal dan Joni
harus berjuang keras untuk mendapatkan Tari, tentu ini akan lebih menarik. Meskipun
kesederhanaan ini memunculkan sedikit ruang kosong, namun ini agaknya tak
terlampai fatal. Ruang kosong itu hanyalah implikasi dari upaya Mas Also untuk
menghadirkan happy ending dalam novel
ini, dan lagi-lagi itu hanya membiarkan sedikit rasa gereget dalam novel itu hilang tanpa menegasikan
kenikmatan pembaca ketika mengarungi Kalam
Cinta dari Tuhan.

Baca Terusannya »»  

tentang saya

Foto Saya
Langga Gustanto
The man who wrote a hobby
Lihat profil lengkapku

Followers


ShoutMix chat widget